MAYARAKAT SIPIL DAN UPAYA MELAWAN PEMISKINAN1)
Oleh. Paul SinlaEloE2)
PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan persoalan yang dihadapi oleh Indonesia sejak
merdeka sebagai sebuah negara bangsa Pada tanggal 17 Agustus 1945 dan
hingga kini belum mampu ditanggulangi. Ketidakmampuan Indonesia dalam
menanggulangi masalah kemiskinan ini disebabkan karena strategi
penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan oleh para pengambil kebijakan (Decision Makers)
dan stakeholders lainnya, belum menjawab akar persoalan kemiskinan itu
dan hanya merespon dampak dari persoalan kemiskinan yang diperparah
dengan cara pandang yang senantiasa bertolak dari asusmsi bahwa penyebab
kemiskinan adalah berasal dari kaum miskin itu sendiri (Blamming the Victim)
dan masalah ekonomi semata. Padahal realita menunjukan bahwa kemiskinan
yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh suatu proses pemiskinan
atau yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan struktural.
Secara
teoritis, paham kemiskinan struktural dapat dipahami dan disimpulkan
sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memepertahankan seluruh hak-hak
dasarnya sehingga orang tersebut tidak dapat mengembangkan hidupnya
secara bermartabat. Pada konteks Indonesia, kemiskinan struktural ini
selain ditengarai oleh kebijakan yang tidak bijak dari para pemegang
kebijakan, juga ditopang oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan
bernegara yang tidak menguntungkan. Dikatakan tidak menguntungkan karena
kehidupan bernegara di Indonesia tidak hanya melahirkan kemiskinan
tetapi juga melanggengkan kemiskinan.
Tatanan
kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan akibat perlakuan negara
yang tidak adil, diskriminatif, eksploitatif ini, telah menyebabkan
banyak warga masyarakat yang gagal memperoleh peluang dan atau akses
untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan
mereka yang malang semakin terjerumus dan terjebak dalam kehidupan yang
serba berkekurangan atau tak setara dengan tuntutan hidup yang layak
dan bermartabat sebagai manusia.
Dari
realitas yang demikian dan mengingat bahwa sampai dengan saat ini
proses pemiskinan di Indonesia masih terus terjadi dan semakin
menjadi-jadi, maka upaya penanggulangan kemiskinan struktural adalah
sesuatu yang mutlak diperlukan. Kemiskinan struktural ini hanya dapat
ditanggulangi jika hak-hak dasar dari kaum miskin ditegakan3). Hak-hak dasar dari kaum miskin yang harus ditegakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan struktural, idealnya meliputi4): Pertama, hak atas pangan. Kedua, hak atas kesehatan. Ketiga, hak atas pendidikan. Keempat, hak atas pekerjaan dan kesempatan berusaha. Kelima, hak atas perumahan dan tempat tinggal yang layak. Keenam, hak atas air bersih dan sanitasi. Ketujuh, hak atas tanah. Kedelapan, hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kesembilan, hak atas rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan. Kesepuluh, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
MENGAPA MASYARAKAT SIPIL5) HARUS TERLIBAT DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN..??
Di Indonesia, penanggulangan kemiskinan struktural dengan pendekatan yang berbasis hak dasar (Right-Based Approach)
ini, idealnya harus dilaksanakan oleh Negara/Pemerintah karena secara
yuridis formal, tugas utama dari Negara/Pemerintah adalah untuk
mensejahterakan rakyat demi terwujudnya masyarakat yang adil di dalam
kemakmuran dan makmur di dalam keadilan.
Namun, penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis hak dasar (Right-Based Approach)
ini, tidak bisa begitu saja diharapkan atau diserahkan kepada
Negara/Pemerintah, walaupun Pemerintah Indonesia (BAPPENAS dan
MENKOKESRA) telah berhasil melahirkan Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan (SNPK) melalui suatu proses yang relatif partisipatif dan
menempatkan masyarakat miskin sebagai subyek yang memang harus dihargai
dan dipenuhi hak-hak dasarnya. Mengapa demikian? karena “sudah menjadi rahasia umum bahwa aktor utama atau pelaku bermasalah dalam hal kemiskinan struktural adalah Negara/Pemerintah”.
Dengan
kondisi bernegara di Indonesia yang seperti ini, maka untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan rakyat dan terpenuhinya hak-hak dasar dari
kaum miskin, otomatis Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO)
dan seluruh Stakeholder demokrasi yang di golongkan sebagai organisasi
masyarakat sipil harus berkolaborasi atau sama-sama bekerja dengan
pemerintah dalam hal penanggulanagan kemiskinan dengan maksud proses
pemiskinan bisa diatasi atau paling tidak dapat dikurangi.
Dalam kaitannya dengan kolaborasi antara Pemerintah dan NGO untuk penanggulanagan kemiskinan ini, maka ada 2 (dua) permasaalahan yang harus segera diintervensi, yakni: Pertama, kurangnya koordinasi antara departemen/Dinas pemerintah yang bertanggung jawab untuk program penanggulangan kemiskinan. Kedua,
ada kebutuhan untuk memberdayakan kelompok miskin dan terpinggirkan
untuk berpartisipasi lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan
dalam rangka membuat kebijakan dan alokasi anggaran yang lebih responsif
terhadap kebutuhan mereka.
PROGRAM SAPA: Wujud Partisipasi Masyarakat Sipil
a. Mengenal Program Sapa6)
SAPA
merupakan kerjasama antara pemerintah (Tim koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan-TKPK, berbasis di Departemen Kesejahteraan Rakyat),
pemerintah daerah di 15 kabupaten terpilih dan kota (Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah-TKPKD) dan LSM/NGO. Kerjasama ini
bertujuan meningkatkan kapasitas TKPK dan TKPKD untuk mengembangkan
inovasi dan koordinasi lintas sektoral di tingkat nasional dan daerah
untuk membuat program penanggulangan kemiskinan lebih responsif terhadap
hasil Musrenbang (Majelis Perencanaan Pembangunan) mekanisme
perencanaan bottom up.
Kolaborasi
ini juga memiliki tujuan untuk mendorong sinergi antara usaha-usaha
dari TKPK dan TKPKD dengan pekerjaan yang sedang berlangsung dari LSM
untuk memberdayakan kelompok-kelompok akar rumput untuk berpartisipasi
dalam lembaga-lembaga Musrenbang. Dalam jangka pendek, dampak paling
langsung dari program SAPA adalah meningkatnya partisipasi kelompok
miskin dan marginal dalam pengambilan keputusan lembaga-lembaga dan
penyediaan pelayanan dasar lebih responsif dalam 15 kabupaten/kota.
Tujuan jangka panjangnya, SAPA diharapkan dapat memberikan kontribusi
langsung terhadap pengurangan jumlah orang miskin di Indonesia dan
pengurangan angka kematian ibu.
Program
SAPA sedang mengembangkan praktek-praktek terbaik mengenai koordinasi
lintas sektoral untuk program penanggulangan kemiskinan dan pelembagaan
partisipasi kelompok-kelompok miskin dan terpinggirkan dalam pengambilan
keputusan lembaga-lembaga di 15 kabupaten dan kota yang telah dipilih
di seluruh Indonesia. Model kolaborasi dan partisipasi yang menangani
isu-isu kemiskinan lokal dan kapasitas pemangku kepentingan lokal akan
di replikasi ke kabupaten dan kota di masa depan.
b. SAPA Stakeholder - Elemen Masyarakat Sipil
Stakeholder
SAPA yang merupakan elemen masyarakat sipil adalah ACE (Asosiation
Komunitas Empowwerment), ASPPUK (Asosiasi Pengembangan Perempuan Usaha
Kecil), Cakrawala Timur, FIK Ornop (Forum Informasi dan Komunikasi
Organisasi non-pemerintah) Sulawesi Selatan, FITRA (Forum Indonesia
untuk Transparansi anggaran), FPPM (Forum Pengembangan Partisipasi
Masyarakat), IDEA (Lembaga Pengembangan dan Analisis Ekonomi),
Inisiatif, IRE (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan), Kaukus 17++.
Selain
itu ada juga lembaga seperti: KOMPIP (Konsorsium Monitoring dan
Pemberdayaan Institusi Publik), Konsorsium Solo, KPA (Konsorsium
Pembaruan Agraria), Lakpesdam NU, Pattiro (Pusat Telaah dan Informasi
Regional), pergerakan, Prakarsa, Konflik RACA (Rapid Agraria Appraisal)
Institut, WDC (Women Development Center), WRI (Women Research
Institute), IPCOS, Wahid Institute, MITRA SAMYA, PPSW, COMBINE dan BINA
DESA.
c. Struktur Organisasi SAPA
Dewan Pemerintahan:
Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan-TKPK, Perwakilan
dari lima belas kabupaten/kota, Wakil dari LSM, Wakil dari Ford
Foundation. Badan Koordinasi:
Sujana Royat, Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan–TKPK
dan Fakhrulsyah Mega, Perwakilan Masyarakat Sipil dalam Koordinasi Tim
Penanggulangan Kemiskinan-TKPK.
Koordinator Daerah7): (1). Banda Aceh kota, Aceh, Azharuddin dari Ikatan Santri Dayah Aceh. (2). Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Kominta Sari Purba dari Bestari Indonesia. (3). Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Surahmat dari divisi Bantuan Hukum Serikat Petani Pasundan. (4). Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Umar Alam dari Perkumpulan Inisiatif. (5). Kabupaten Garut, Jawa Barat, Yudi Kurnia dari YAPEMAS. (6). Kabupaten Subang, Jawa Barat, Deden dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Indonesia. (7). Tasikmalaya kota, Eva Patimah dari SNT-YSNI. Kota Solo, Jawa Tengah, Zakaria dari Kaukus 17++. (8). Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Gunung Wiryanto dari FORMASI Kebumen. (9). Kabupaten Gunung Kidul, (10). Yogyakarta, Triwahyuni Suci Wulandari dari IDEA Yogyakarta. (11). Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Mulyadi Prajitno dari YKPM Makassar. (12). Kabupaten Jembrana, Bali, Luh Debora Murty dari Yayasan Maha Bhoga Marga. (13). Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Siti Sanisah dari Konsorsium Lombok Tengah. (14). Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Paul SinlaEloE dari PIAR NTT. (15). Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Daden Sukendar dari PPSW Pasoendan.
PENUTUP
Demikianlah
sumbangan pemikiran saya mengenai Masyarakat Sipil Dan Upaya Melawan
Pemiskinan. Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada
suatu diskusi yang lebih luas.
-----------------------------------Catatan Kaki:
1) Materi
ini dipresentasikan dalam Diskusi Multistakeholder untuk implementasi
program perluasan pelembagaan partisipasi Perempuan Miskin &
Kelompok Marginal dalam perencanaan dan penganggaran demi pemenuhan
hak-hak dasar warga di Kota Kupang, yang dilaksanakan oleh Bengkel APPeK
dengan dukungan Asosiation Comunitas Empowwerment (ACE), di Aula BKKBN Prov NTT, Kota Kupang, pada tanggal 13 Januari 2012.
2) Koordinator Daerah Kota Kupang, Untuk program “Kemitraan Strategis Penanggulangan Kemiskinan/Strategi Alliancefor Poverty Alleviation (Program SAPA), Juga Staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT.
3) Sarah Lery Mboeik, Kemiskinan dan persoalannya di Nusa Tenggara Timur, Makalah, disampaikan pada Lokakarya
dan Pelatihan, Fasilitator Participatory Poverty Assessment (PPA), yang
dilaksanakan atas kerjasama PIAR NTT & OXFAM GB, di Hotel Maya,
Kota Kupang, pada tanggal 26-31 Juli 2005.
4) Kesepuluh hak dasar rakyat ini dapat dilihat dalam batang tubuh UUD 1945.
5) Istilah masyarakat sipil (Civil Society),
berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Civil Society sebagai
sebuah konsep, Akar perkembangannya dapat dirunut mulai dari Cicero yang
pada abad ke-18 mempergunakan istilah Societes Civilis dalam filsafat
politiknya dan dalam tradisi eropa dianggap sama dengan pengertian
negara (The State). Dalam perkembangannya setelah abad ke-18, istilah Civil Society ini pernah juga dipahami sebagai antitesis dari negara (state). Masyarakat sipil (Civil Society)
dapat dimaknakan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisir (menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi
mandiri), tidak terkungkung oleh kondisi material, serta tidak
terkooptasi di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Dengan
pemaknaan seperti ini, maka yang disebut sebagai masyarakat sipil
tersebut harus memiliki 3 (tiga) ciri, yakni: Pertama, adanya kemandirian dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat terutama ketika berhadapan dengan negara. Kedua,
adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana keterlibatan politik
secara aktif dari warga negara melaluiwacana dan praksis yang berkaitan
dengan kepentingan publik. Ketiga,
adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak interfensionis. Dari
pengertian masyarakat sipil diatas, maka pengejawantahan masyarakat
sipil dapat mewujud dalam bentuk organisasi/asosiasi yang dibuat oleh
masyarakat diluar pengaruh negara, seperti Lembaga-Lembaga Non
Pemerintah (Non Government Organization/NGO), pers, organisasi keagamaan, organisasi sosial, paguyuban dan organisasi/asosiasi lainnya. Lihat, Muhamad AS Hikam, Demokasi dan Civil Society, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1999. Lihat juga, Paul SinlaEloE, Peranan Masyarakat Sipil dalam Pemantauan Peradilan,
Makalah, dipresentasikan dalam Semiloka: “MEMBANGUN KOMITMEN MULTIPIHAK
DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG MANDIRI, FAIR, NETRAL, KOMPETEN
DAN BERWIBAWA”, yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial-RI bekerjasama
dengan FH-Universitas Mataram, di Hotel Lombok Raya, Mataram, pada
tanggal 24 Agustus 2006.
6) Untuk informasi lebih lengkap berkaitan dengan Program SAPA bisa di lihat dalam http://www.sapa.or.id.
7) Koordinator
Program SAPA di daerah bekerja berdasarkan SK Deputi MENKOKESRA Bidang
koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor:
02/KMK/D.VII/III/2011, Tentang Pembentukan Satuan Unit Kerja Pengelolaan
Program Kemitraan Stratrgis Peninggulangan Kemiskinan (SAPA/ Strategi Alliancefor Poverty Alleviation), tertanggal 31 Maret 2011. Tugas Utama dari Unit Kerja Pengelola program SAPA ditingkat Daerah adalah: Pertama, Mengkoordinasikan pelaksanaan program SAPA yang dilaksanakan oleh pengelola program SAPA di wilayah kerja Kordinator Daerah. Kedua, Bersama TKPKD mengkoordinasikan pengendalian program PNPM Mandiri yang dilaksanakan oleh TIM Pelaksana Program PNPM Mandiri. Ketiga,
Melalui secretariat TKPKD mengkoordinasikan para pemangku kepentingab
penanggulanagan kemiskinan daerah agar terjadi sinergi antar pihak. Keempat, Bersama secretariat TKPKD mengelola pusat informasi kemiskinan daerah (Resource Center).
Posting Komentar